Tidak ada istilah usia lanjut atau tua bagi Ir Ciputra untuk tetap bekerja. Pada usianya yang mencapai 77 tahun ini, Ciputra masih rajin dan sibuk bekerja. Jadwal tugas hariannya sangat padat, seakan usia pun tidak mampu mengurangi semangat kerja pria ini.
Bukan hanya mengepakkan sayap bisnis di sejumlah negara di Benua Asia, Amerika, dan Afrika, tetapi pria kelahiran Parigi, Sulawesi Selatan, 24 Agustus 1931, ini pun tetap aktif memberikan ceramah dalam berbagai seminar di beberapa perguruan tinggi. Tema pembicaraannya memang hampir seragam, yakni tentang semangat entrepreneurship atau kewirausahaan.
Mengembangkan semangat entrepreneurship pada semua lapisan masyarakat memang sedang menjadi ambisi dan cita-cita besar Ciputra belakangan ini.
”Bangsa ini (Indonesia) sulit maju karena minimnya semangat entrepreneurship,” kata Ciputra, pendiri Taman Impian Jaya Ancol ini.
Dia kemudian memberi contoh, pada tahun 2007 terdapat lebih dari 740.200 orang lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Kondisi ini disebabkan lulusan perguruan tinggi umumnya hanya berorientasi mencari pekerjaan, bukan menciptakan pekerjaan.
Di sisi lain, kekayaan alam Indonesia yang sangat berlimpah tidak dikelola secara optimal. Ini juga karena minimnya semangat entrepreneurship.
Mengutip majalah The Economist, Indonesia merupakan penghasil gas alam kedelapan terbesar di dunia, penghasil batu bara dan emas ketujuh terbesar di dunia, serta penghasil tembaga dan nikel nomor lima dunia. Bahkan, Indonesia juga penghasil karet nomor dua dan minyak sawit nomor satu di dunia.
”Namun, kekayaan alam yang melimpah ini sampai sekarang masih kurang bisa menyejahterakan rakyat karena minimnya kemampuan entrepreneurship,” kata Ciputra dalam ceramah saat dia menerima gelar Perekayasa Utama Kehormatan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta, Rabu (20/8).
Ciputra merupakan penerima penghargaan gelar Perekayasa Utama kehormatan kedua dari BPPT. Tahun 2007, penghargaan serupa diberikan instansi tersebut kepada mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Prof Dr Emil Salim.
Sejak taman kanak-kanak
Ciputra tidak hanya berkeluh-kesah soal minimnya semangat entrepreneurship. Dia juga memberi contoh sekaligus solusi dengan mendirikan 12 sekolah dan tiga perguruan tinggi, seperti Sekolah Ciputra, Sekolah Citra Kasih, Sekolah Citra Berbakat, Sekolah Global Jaya, Sekolah Pembangunan Jaya, serta sejumlah sekolah lainnya di beberapa kota.
Di sekolah-sekolah ini diajarkan tentang entrepreneurship sejak siswa belajar pada tingkat awal, bahkan sejak di taman kanak-kanak. Tentu pengajaran entrepreneurship ini disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan usia para siswa.
Ketika siswa duduk di kelas dua sekolah dasar misalnya, mereka diajak ke kawasan pertokoan. Lalu, siswa diberi tugas untuk mencatat semua jenis usaha yang ada serta jenis usaha yang belum tersedia. Mereka kemudian diminta mengajukan usulan, jenis usaha apa lagi yang layak dibuka di kawasan pertokoan tersebut.
Usulan yang muncul dari siswa-siswa itu kemudian didiskusikan dengan teman-teman lain dalam kelas. Dengan demikian, para siswa pun sekaligus dapat belajar bagaimana mengambil keputusan bersama.
”Dalam kegiatan ini, para siswa dilatih mencari peluang usaha, tahapan penting dalam entrepreneurship,” kata Antonius Tanan, Direktur Grup Ciputra, menambahkan.
Ciputra berambisi betul untuk menciptakan entrepreneur, karena berkeyakinan kelompok kreatif inilah yang bisa membawa bangsa ini menuju kemajuan. Suatu bangsa akan maju jika jumlah entrepreneur-nya paling sedikit 2 persen dari jumlah penduduk.
Singapura, misalnya, jumlah entrepreneur-nya sekitar 7,2 persen dan Amerika Serikat 2,14 persen, sedangkan Indonesia yang berpenduduk 220 juta jiwa hanya memiliki sekitar 400.000 pelaku usaha mandiri atau sekitar 0,18 persen entrepreneur dari jumlah penduduknya.
Ciputra berkeyakinan, Indonesia akan maju jika sedikitnya mempunyai empat juta orang entrepreneur.
Mengubah rongsokan
Bagi Ciputra, entrepreneurship adalah kemampuan seseorang ”mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas”. Dia membuktikan sendiri keyakinannya tersebut.
Ketika membuka Taman Impian Jaya Ancol pada tahun 1967, misalnya, saat itu kawasan Ancol merupakan daerah rawa yang kotor dan telantar. Berkat kreativitas dan keuletannya, Ancol sekarang termasuk kawasan wisata lima besar dunia dengan pengunjung lebih dari 13 juta orang per tahun.
Begitu pun ketika membangun kawasan perumahan lainnya di sejumlah negara, Ciputra lebih suka memanfaatkan kawasan telantar, lalu mengubahnya menjadi kawasan elite dan prestisius. Di Vietnam misalnya, pemerintah setempat terkejut ketika Ciputra dapat mengubah kawasan telantar menjadi kawasan perumahan elite kelas dunia seluas 301 hektar yang diberinya nama Ciputra Hanoi International City.
Langkah serupa juga dilakukan Ciputra di India, Kamboja, China, Polandia, Amerika Serikat, dan sekarang dia sedang merintis pembangunan kawasan perumahan di Negeria seluas 1.000 hektar.
”Saya ingin memberi contoh kepada generasi yang lebih muda. Nigeria yang dianggap negara dengan penegakan hukum yang lemah, justru menjadi tantangan buat seorang entrepreneur,” ujar Ciputra, anak pedagang kelontong di sebuah desa terpencil di Gorontalo itu.
Dengan semangat itu pula, dia sekarang bisa memimpin sejumlah perusahaan dengan jumlah karyawan lebih dari 14.000 orang. ”Kalau kita bisa membangun perumahan di Indonesia, itu berarti kita juga pasti bisa membangun perumahan di negara lain,” ujar Ciputra penuh keyakinan.
Itulah keyakinan seorang entrepreneur.
KOMPAS/LASTI KURNIA
TRY HARIJONO dan ABUN SANDA